Iklan

Selasa, 13 Maret 2012

Jodoh Memang bulat, Lho!

by~ S. Gegge Mappangewa on Miss Right Where R u?


Jomblo! Dulu, pertama dengar istilah itu, aku sempat buka Kamus Besar Bahasa Indonesia.  Zaman aku ABG, (sekarang sih masih ABG, tapi udah stok lama), buat cowok dan cewek yang belum punya pacar itu diberi status single.  Tapi sekarang, jomblo! Dalam kamus, aku tidak mendapatkan kata jomblo.  Yang ada adalah jomlo artinya gadis tua.  Lalu perjaka tua? Sepertinya kata jomblo, hadir untuk keduanya.

Jangan pikir cuma cewek yang pusing mikirin jodohnya.  Sebagai cowok yang lumayan berpotensi (Paras Oke dan Tidak Impo...hus, sensor!), aku bebas menunjuk cewek mana pun yang kumau, sekarang juga kalau aku mau, untuk kujadikan jodohku (kalau ceweknya mau, tentunya).  Tapi karena jodoh susdah ditebak, mudah dicari tapi susah dapatnya, sampai sekarang aku belum bisa menunjuk satu cewek pun, untuk kujadikan jodohku.

Parahnya lagi sebagai jomblo yang berpotensi, teman-teman banyak yang salah mengartikan senyumku.  Katanya, aku ini sengaja terus menggunakan senyum pemikat massalku untuk mempermainkan cewek.  Setelah cewek terserang lumpuh layuh karena senyumku, aku malah pergi.  Padahal itu sama sekali nggak benar.  Masa iya, aku nggak boleh senyum hanya karena takut ditaksir orang?

Dan yang paling meresahkan, sebagai jomblo, akhir-akhir ini aku merasa dikejar-kejar oleh jodohku sendiri.  Ya, dikejar!  Karena begitu banyak teman yang ulurkan jasa comblang, hingga berdert-deret nama disebutkan, tapi ibarat puzzle, susunannya belum tepat dihatiku.  Belum ada yang pas.


Awalnya aku nggak peduli dengan teman-teman yang merasa diri pihatin dengan umurku yang sudah masuk kepala tiga.  Tapi didesak terus, lama-lama aku mikir juga kalau sebenernya memang sudah hampir lapuk.  Kalau terus pilih-pilih tebu, bisa-bisa kudapat ujung tebu yang rasanya hambar, atau ampas tebu, atau bahkan nggak dapat tebu sama sekali.  Mudah-mudahan jangan, Tuhan! Aku ingin nikah.

Sekarang desakan nggak hanya datang dari pihak teman.  Guju mengajiku, selalu mengawali materi pengajiannya dengan pertanyaan-pertanyaan seputra jodoh, untukku.  Memang sih, di antara teman pengajian, aku yang palin rawan. Temanku yang berinisial A, yang masih kuliah, sekarang sudah punya anak.  Temanku yang berinisial Y, yang juga masih kuliah, sudah pernah punya istri meski kemudian meinggal karena sakit.  Temanku yang berinisial G, yang merasa skripsinya nggak bisa selesai , memilih untuk menikah dulu baru mengurus skripsi.  Yang jomblo cuma aku, dan double S. tapi double S itu belum dibebani umur. Sementara aku....? Aku mulai malu menyebut angka umurku.

"Jangan sampai Y nikah untuk kedua kalinya, antum belum satu kali pun!" pesan guru mengajiku.

Aku sudah mulai nggak enak hati dengan nasihat-nasihat pernikahannya.  Katanya, menikah itu harus punya keberanian, tapi bukan nekat.  Aku nggak akan bisa menikah kalau menunggu terus samapi keragu-raguan benar-benar habis.

"Ana waktu mau nikah juga ragu terus seperti antum sekarang.  Bahkan hingga ajab kabul mau ana ikrarkan, ana masih ragu.  Bener nggak pilihan ana, apa nggak nyesal nantinya? Tapi sekarang ana sudah punya anak dua."

"Nyesel nggak, Ustadz?"tanyaku.
"Ya, menyesal sekali!" jawabnya serius.
"Tapi kenapa bisa punya anak dua, dan maksa aku buat nikah secepatnya?"
"Menyesal nggak dari dulu, maksudnya!"

Akhir dari kalimatnya, dia memintaku memasukkan proposal nikah.  Tulis biodata lengkap, juga akhwat yang diidamkan seperti apa, umurnya berapa, dan suku apa.  Aku jadi merinding dengarnya, kok kaya biro jodoh seeh!  Kalau soal akhwat yang kuidamkan, hingga kini belum ada.  Maksudnya, belum ada yang sampai membuatku ngida, samapi harus mules dan mau makan buah yang kecut-kecut, kalam nggak melihatnya.

"Ana tunggu secepatnya.  Tpi harus yang serius."
"Tapi Ustaz, masa sih nembaknya nggak dikeker dulu."
"Mau ngeker gimana?  Yang jelas ada proses ta'aruf.  Nggak seperti beli kucing dalam karung."

Seperti guru mengajiku yang sudah serius nih comblangin aku.  Tapi jujur aja, ketukan halus guru mengajiku belum bisa membuka pintu hatiku.  Kayaknya perlu digedor, atau bahkan didobrak.  Heran juga, aku tuh ngebet-ngebet mau nikah, tapi takut memulainya.  Takut salah pilih, salah langkah!  Padahal aku sering juga mikir, karena pilih-pilih jugalah nantinya yang akan membuatku salahlangkah.

Sering diceramahi soal nikah, selalu ditagih masukkan proposal nikah, membuatku malas pergi mengaji.  Aku jad risih, bahkan malu setiap dibanding-bandingkan dengan teman mengajiku yang masih kkuliah tapi sudah berani melangkah ke pelaminan.  Bagiku, nikah itu gampang.  Setelah nikahnya yang membuatku harus berpikir tujuh keliling.  Abis nikah, mau tinggal di mana, mau makan apa? Masa iya tinggal di rumah mertua, masa iya tetap ngekost di kamar yang tiga kali tiga meter, masa iya makannya masih di warung.

Belum lagi kalau istri sakit, atau ngidam.  Baguslah kalau ngidamnya mau lihat cowok cakep, tinggal lihat aku atau nonton sinetron, tapi kalau sampai ngidam durian montong, yang haranya bisa ratusan ribu per buah? Pusingnya lebih dari tujuh keliling!

"Semua orang ada rejekinya.  Nggak mungkin abis nikah, antum makan nasi, istrimu makan rumput!" terngiang lagi rayuan nikah guru ngajiku.

Memang sih, biasanya orang yang sudah nikah itu, rezekinya langsung melonjak.  Ya, biasanya sih begitu!  Tapi aku takut kalau tidak tergolong dalam orang-orang yang 'biasanya'.  Karena mataku cukup banyak melihat, saat masih bujang, mau makan apa saja, tinggal pilih resto.  Pakaian ikut tren.  Tapi setelah nikah,...? Buat jalan-jalan ke mall pun mikir, apalagi mau belanja.

"Jadi kamu mau nge-jomblo terus? Nggak mau nikah? Nggak mau punya anak?"

Pertanyaan ini bukan dilontarkan guru mengajiku, tapi keluar dari batinku sendiri.  Pertanyaan yang tentu saja jawabannya adalah gelengan. Mana mungkin muka cekepku ini kusia-siakan, kubiarkan sampai lapuk, bahkan tidak mewariskannya ke anak-anakku kelak.  Bagaimana mungkin aku yang normal, tidak ingin hidup normal seperti halnya orang lain yang punya anak dan istri.  Ya, aku cakep.  Aku normal. Berpotensi, Berparas Oke, dan Tidak Impo...hus, senessor lagii!
Cakep-normal-cakep-normal-cakep-normal!

Sepertinya dua kata itu yang membuatku men-jomblo sampai sekarang.  Aku terlalu pede dengan apa yang aku miliki, lalu menyiksa 'kenormalanku' dengan tidak menormalkan keinginannya.  Terlebih, aku selalu merasa bahwa jodoh itu bulat.  Menggelinding di atas bumi yang juga bulat.  Menggelindiing dan menggelinding terus, dan akan berhenti di sebuat koordinat yang disebut pernikahan.  Tapi siapa yang akan menghentikannya? Tentulah tidak berserah begitu saja, harus dengan usaha!

Jodoh memang di tangan Tuhan, tapi rupanya kita disuruh untuk mengambil sendiri dari tangan-Nya, melalu tenadahan tangan yang terbuka lebar.  Meminta dan terus meminta.  Sambil terus berusaha mencari, seperti memintal benang, yang mungkin saja putus, tapi harus dsambung lagi!

Jika menunggu dan menunggu terus, seperti yang kulakukan sekarang, menunggu samapi hidup mapan, berkecukupan, dan bertemu calon yang papan atas, jodoh yang bulat  itu tak akan pernah berhenti menggelinding.  Dia akan semakin bulat dan membesar seperti bola salju, semakin susah dihentikan, semakin membahayakan.

Kembali ke yang kedua tadi.  Cakep dan normal!  Belum tentu semua mata melihatku benar-benar cakep.  Jangan-jangan cuma kacamata pribadiku saja yang bisa melihat kecakepan itu.  Ya, aku terlalu pede.

Cakep dan normal, juga nggak cukup dijadikan modal awal sebuah pernikahan.  Tentulah iklan suami Siaga, Siap, Antar Jaga, hanyalah kalimat iklan.  Sebagai suami haruslah bertanggung jawab pada seluruh persoalan domestik, mulai kosmetik hingga logistik.  Kalau masih kerja serabutan sebagai penulis? Malu dong dijuluki suami Mokendo, Modal Cakep dan Normal Doang!

Aku ragu lagi.  Tapi seperti kata guru mengajiku, aku harus melawan keraguan itu.  Harus berani memulai!  Akan aku coba.  Oh iya, nikah nggak ada istilah coba-coba! Itu kata guru mengajiku juga.  Kalau coba-coba, bisa-bisa seperti kebanyakan selebritis, pacaran tiga tahun, tapi setelah nikah, paling bertahan setahun.

Jomblo? Jangan-jangan artinya; Jodoh Memang Bulat, Lho!  Buktinya, sekarang, jodohku masih menggelinding terus.  Sedang mencari koordinat yang tepat, atau memang ngga ada koordinat yang tepat untuknya? Ah, aku percaya pada janji Allah yang menciptakan manusia berpasang-pasangan.

Wahai, jodoh yang bulat!  Berhentilah di tempat perkir yang aman.  Aman dinikahi karena agamanya yang kuat, karena cantiknya, juga karena hartanya.

"Lho, masih pilih-pilih juga?"
"Itu kan permintaan Rosululloh.  Nyuruh kita menikahi wanita karena tiga hal, ya itu tadi/"
"Itu berarti kamu akan ketemu bidadari/"
"Emang benar ada yang namanya bidadari?"
"Ada. Tapi adanya di surga.  Kami mau nikahnya entar di surga? Kalau masuk neraka?"
"Gimana seeeh?"

Hingga kini, batinku masih bertentangan terus.  Jodohku semakin berwujud bola salju.  Semakin menggelinding, membesar, membahayakan.....
"Tidaaakkk!"
Ngeri aku membahayakan jodohku yang terus membulat seperti bola salju. Mulai sekarang bayangan bola salju itu kuganti dengan bola kristal.
Jodoh juga terlarang lho, dibawa ke depan bola kristal untuk diramal, maka buat akhwat yang percaya bahwa jodoh itu memang bulat, yakinkan aku untuk menghentikannya di koordinat yang kita inginkan.  Mengangguklah! Dan akan kubulatkan tekad untuk datang meramal, eh salah....melamar!

Tapi jangan minta mahar liontin emas sebesar bola kristal.  Cukuplah, seperangkat alat band.  Eeh.... salah lagi.  Seperangkat alat salat, gitu lho!

Kata orang, kalau gugup saat bicara mahar, berarti jodohnya udah dekat. Amiiinnn!


1 komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...